-->

Selamat; Kamu Pemenangnya

"Di sini aku tidak ingin berdebat perihal cinta, perihal agama, serta perihal jalan hidup yang masih dirahasiakan Pemilik Semesta Raya. Aku hanya sedang berdebat dengan Geunaseh, perihal tugasku yang katanya aku telah abai.”

Melalui sambungan telefon engkau marah besar terhadapku. Beberapa pucuk permintaan yang kutangkap sebagai ultimatum engkau tumpahkan begitu saja untukku.

“Kenapa kamu tidak menulis lagi, Bang?” tanyamu dengan nada ketus.

“Masih. Aku masih menulis,” jawabku membela diri.

“Di mana? Aku tidak pernah lagi melihat tulisan-tulisanmu muncul di blog, atau melintas di beranda media sosial.!” ujarmu. Sepertinya raut wajahmu di belahan bumi sana masih berduka atas kematian tulisan-tulisanku. Maksudku, atas tulisanku yang hilang kabar entah ke mana.

“Aku masih menulis, tulisan-tulisan itu masih terendap di dalam perangkat kerja (PC dan Android)” aku mencoba menjelaskan.

Benar saja, engkau memang keras kepala—agar kamu tahu saja, aku semakin suka dengan kepalamu yang “keras” itu. Engkau semakin menjadi-jadi mencercaku, mengatakan bahwa sikapku yang demikian merupakan suatu kesalahan besar yang kuperbuat terhadapmu.

“Aku selalu memantau lewat jejaring, menanti-nanti kapan engkau menulis lagi,” ucapmu, mengakui bahwa sedang kehausan, ingin sekali meneguk tulisan-tulisanku. Memang, aku sedang paceklik melakukan publikasi tulisan tentangmu.

Tidak pun kuakui, engkau sudah cukup paham bahwa aku dilahirkan ke bumi ditugaskan untuk menulis kisah tentangmu. Aku tidak ingin menyebut itu kutukan, sebab, tugas yang kuemban itu adalah suatu kesyahduan hidup.

Kelak, kamu patut berbangga hati Geunaseh, telah membentuk seorang anak manusia untuk menulis—aku tidak memproklamirkan diri sebagai penulis—Engkau tidak perlu takut, tulisan-tulisanku tidak akan mati, ia hanya hilang kabar sementara waktu.

“Aku masih menulis. Tidakkah engkau sadar, sudut kota, belantara rimba, bahkan luasnya laut telah aku wara-wiri karena hasrat menulis. Engkau pelakunya, telah meniupkan roh itu dalam diriku. Tidak perlu risau, hasrat itu tidak akan mati,” aku kembali memperjelas, berharap engkau tidak lagi marah-marah.

Bukankah suatu waktu yang lalu aku pernah mengajarimu suatu hal; “bahwa sesuatu yang datang dari hati akan menyentuh hati”. Aku telah mendatangkan itu untukmu, tugasmu hanya merawatnya saja, itu pun jika engkau mau.

Benar saja, engkau begitu lihai menggiringku untuk mengakui segala sesuatu yang seharusnya kusembunyikan darimu. Sesuatu celah kenaifan yang seharusnya disembunyikan dari sang lawan. Aku tidak melihat sifat penghancur dari dalam dirimu, namun jika pun ingin kau lakukan untukku maka lakukanlah, aku telah menyerahkan diri, engkau bebas memporak-porandakan.

Selamat, kamu pemenangnya. Aku telah menulis lagi.***

Sudut Kota Banda Aceh, 23 Oktober 2021.

Kopi dan Cerita di Tengah Pandemi

KOPI DAN CERITA DI TENGAH PANDEMI

Saya menepuk bahu Tajul, "laki-laki terkuat di muka bumi bukanlah laki-laki yang mampu menyembelih kerbau tanpa diikat. Melainkan laki-laki yang mampu menahan amarahnya".
_____________________________________

Ditulis oleh: M. Yusrizal

Sudah sepekan kami tidak bertatap muka, dengan dalih kesibukan masing-masing seiring kami beranjak menjadi laki-laki dewasa. Sebab kata seorang penulis dari Pulau Java, "semakin kita dewasa semakin tidak bisa seenaknya". Maka dari itu, malam ini kami mencoba bertemu, di sebuah warung kopi merakyat yang letaknya sedikit menepi dari kesibukan ibu kota. Sabtu malam, 18 Juli 2020 Tuhan merestui kami bertemu, walau harus mempraktikkan salam ukhti sebagai pengganti jabat tangan hangat sebelum pandemi.

Saya memesan kopi hitam pancong, biar sedikit terkesan legendaris ala-ala tetua Aceh. Kopi ke tiga saya hari ini; pagi, sore, dan malam. Tidak pernah saya separah ini mengkonsumsi kopi, tiga kali sehari. Semua ini bertujuan meredam pikiran saya yang terlalu wara-wiri seperti GAM Cantoi semasa Konflik Aceh dengan Pusat belasan tahun silam.

Afdal memesan segelas susu panas, alasannya ia telah lama tidak minum susu (entah apa itu, saya tidak tahu). Dan pun, susu tersebut sebagai penambah nutrisi otaknya sehabis bergelut di ruangan Tata Usaha salah satu Sekolah Menengah Atas di Aceh Besar.

Tajul datang dengan mengeluh, kulitnya gatal-gatal, vonis dokter ia salah makan, semoga ia tidak makan batu lantaran tidak punya uang selama bumi diserang pandemi. Maka dari itu, ia hanya memesan segelas teh hangat kelat, agar dokter tidak memvonis ia salah minum sehingga lelaki ini ke-ga-ta-lan.

Cerita kami macam-macam. Afdal dengan cerita pekerjaannya di sekolah, ia sangat senang lantaran sekolah memfasilitasi sebuah PC baru pada meja kerjanya.

Saya tidak bercerita pekerjaan, hanya jadi penanya perihal problema SPP mahasiswa selama pandemi, bertanya ini itu, yang mereka tidak sadar atas pertanyaan-pertanyaan tersebut bahwa saya sedang bekerja. Saya tidak memberi tahu bahwa sekarang profesi saya setengah inteligen, "sebab sebodoh-bodohnya intel adalah intel yang mengatakan bahwa dirinya itu intel" semoga saya tidak bodoh telah menulis berita pemberitahuan ini.

Tajul banyak bercerita perihal dagangnya. Sesekali ia terpancing bercerita tentang Umi kekasih bayangannya. Saya dan Afdal jadi orang nakal menanyakan hal tersebut, hampir saja Tajul menghabiskan tisu warung kopi menyeka air mata. Kami merasa bersalah telah membuatnya melankolis.

Karena profesi saya sebagai intel, akhirnya berhasil menguak tindak kejahatan yang sedang direncanakan Afdal pada masa depan. Setelah tak sanggup mengelak pertanyaan yang terus menembak kupingnya, akhirnya lelaki ini memberi pengakuan ia tidak akan datang ke acara resepsi pernikahan saya dan resepsi pernikahan Tajul kelak. "Saya tidak suka makan ikan, dan daerah kalian mempunyai tradisi menyembelih ikan bandeng (ikan mulus) ditiap acara adat dan acara kematian," tutur Afdal. Bukankah ini bentuk kejahatan yang sedang direncanakan? Biarkan pembaca yang menilai, apa ia patut diberi hukum tembak mati di tempat lantaran tidak menghadiri pesta perkawinan rekannya sendiri.

Berbicara perihal tempat kelahirannya, Geurugok, Bireuen, Tajul punya kisah sosok yang menarik untuk di bagi. Nek Bat panggilan akrabnya, lelaki tua berumur 80 tahun itu berpostur ceking (kurus), namun tenaganya masih sangat kuat. Lelaki tempramen itu pernah menendang lembu jantannya hingga sang lembu jatuh tersungkur tak berdaya. Lembu yang baru dibeli di gelanggang ternak pada pasar Geurugok mewarisi sifat pemalas. Binatang ini enggan berjalan tatkala Nek Bat menarik-nariknya untuk dibawa pulang, matahari menombak ubun-ubun di siang itu, keringat Nek Bat timbul berserakan sebesar biji jagung hingga bajunya ikut basah dan bau apek, naik pitamlah lelaki tua bangka itu, diambilnya ancang-ancang ke belakang beberapa langkah sebelum akhirnya menghadiah si lembu sepakan ala Bruce Lee. Lembu menjerit, orang-orang Keude Geurugok bersorak-sorai dan berdecak kagum tak henti-henti, memuji si tua renta itu. Belahan bumi mana yang mampu memproduksi lelaki tua sanggup menumbangkan seekor lembu jantan dewasa? Saya rasa hanya Nek Bat yang mampu melakukan itu.

Mendengar cerita Tajul yang demikian komedi, tawa saya lepas tak terbendung, kacamata saya lepas, seketika menyeka air mata dengan punggung tangan, sebab tisu telah dihabiskan Tajul menangisi Umi, kekasih hati yang belum diikat. Kabarnya wanita yang berinisial Umi itu sering singgah ke sana-kemari. Semoga Tajul tidak mengikat Umi seperti Nek Bat mengikat lembunya, apalagi meniru gaya Nek Bat mensalto lembu malang itu.

Saya menepuk bahu Tajul, "laki-laki terkuat di muka bumi bukanlah laki-laki yang mampu menyembelih kerbau tanpa diikat. Melainkan laki-laki yang mampu menahan amarahnya". Kini giliran Afdal yang menangis mendengar ucap saya yang terlampau bijak, ia menyeka air mata dengan lengan baju***

(Foto penulis; intel)

(Foto Tajul; toke)

(Afdal; praktisi-akademisi)

Note:
Dalam cerita di atas kami tidak sempat memegang gawai. Hingga selembar foto kebersamaan pun lupa kami abadikan. Penulis diharuskan mengutip foto-foto tersebut pada media sosial tokoh yang dimaksud.

Drama tangis-menangis hanyalah bualan penulis semata.

#kurangi.pemakaian.gawai ketika duduk bersama teman. Duduk dan ceritakan.


Untuk Mu Mendiang KKA

Untuk Mu Mendiang KKA
(Karya: mohd.yosoerizal)


Untuk mu penghuni pusara atau yang tak tau alamat raga
Simpang KKA, Malik Maut diundang untuk menyapa
Tua, muda, bahkan balita, di sana engkau dihina, di negeri tempat engkau pertama mengintip semesta

Inilah negeri ku, maaf untuk kalian para mendiang KKA
Entah yang ke berapa kali kupertegas, ini negeri rimba
Hingga hukum-hukum dan para penghukum ikut merimba
Maafkan saja, mungkin Si Pa i tak sengaja mendesingkan peluru-peluru pembelah tengkorak rakyat tak berdosa

Jikalau aku berdoa pada Ilahi Rabbi, dulu tapih, sebelum Senin, 3 Mei 1999;
Kan kupinta agar kalian tidak dilahirkan di negeri ku, lebih sopannya di Republik ini.

Jangan lagi meratapi, belantara rimba dan belantara kota sama saja, merimba
Biarkan Rabbana yang menghukum alam dan penghuninya

Gampong Laksana, 03 Mei 2018.

SEMANGAT SAKTI

SEMANGAT SAKTI
(Oleh; M. Yusrizal)


“Sengaja saya simpan, agar ini menjadi pertanyaan bagi saya sendiri, ‘Kenapa dulu bisa? Kenapa sekarang tidak?’” begitu jawab Drs. Teuku Abdullah, S.H., MA ketika saya menanyakan mengapa ia begitu banyak menyimpan naskah. Lelaki yang umurnya tergolong senja ini masih sibuk mengobrak-abrik naskah lama tentang Aceh di teras rumahnya. Sesekali saya meminta izin untuk membaca beberapa arsip pribadi beliau, seperti struk pengiriman uang dari orang tuanya di Pidie, saat ia menempuh pendidikan magister di Yogyakarta. Selain itu, juga ada surat dari teman-temannya di Aceh dan Malaysia yang mengagumi tulisan T.A Sakti−nama penanya−yang sering dimuat di media.

Di lingkungan Universitas Syiah Kuala, ia kerap disapa dengan sebutan Pak TA. Lelaki kelahiran Kecamatan Sakti, Pidie 13 September 1954 ini, aktif mengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah. "Apa bermusabab bapak lahir di Kecamatan Sakti, sehingga nama bapak ada Sakti-nya?” tanya saya di sela-sela menyibak arsip penting beliau. Di luar hujan belum juga berhenti. Mau tidak mau saya harus berteduh sejenak di rumahnya. Pak T.A tidak menjawab pertanyaan yang saya lontarkan. Ia sibuk menyibak arsip seperti ada sesuatu yang ia cari. Sesudah ia menemukan, segera disodorkan secarik kertas kuning lusuh itu kepada saya. "Ini dia jawabannya. Anda bisa membacanya di situ,” Saya mengambil kertas itu dan terperanjat saat membacanya. Kertas itu berisi surat yang ditulis oleh Ali Hasjmy, pendiri Kopelma Darussalam. Dalam suratnya, Hasjmy menyarankan agar Teuku Abdullah menggunakan nama pena T.A. Sakti. Hal ini bertujuan agar tulisan T.A Sakti yang menghiasi koran nasional dan lokal dapat lebih dikenal masyarakat luas.

"Pak Hasjmy kagum dengan tulisan-tulisan saya semasa kuliah di Yogya. Namun, beliau menyesali nama saya di koran yang kerap gonta-ganti. Awalnya saya merasa bangga menggunakan nama samaran. Semenjak menerima surat dari Ali Hasjmy, saya resmi membakukan nama pena menjadi T.A. Sakti. Nama itu beliau yang sarankan,” jawabnya sambil tersenyum. Sedari dulu T.A Sakti merupakan pegiat kebudayaan di bidang hikayat Aceh. Banyak sudah hikayat yang dialihaksarakan olehnya. Dari aksara Arab Jawi menjadi aksara latin berbahasa Indonesia. Selain itu, di depan rumahnya di Tanjung Selamat, Darussalam terdapat pondok yang diberi nama balee tambeh. Pondok ini menjadi saksi sejarah lahirnya berbagai tulisan kebudayaan dan hikayat karangan T.A Sakti. Di tempat ini juga digalakkan pengajian Arab Jawi.

Berkat kegigihannya dalam melestarikan kebudayaan Aceh, beliau dianugerahkan beberapa penghargaan besar, seperti Kehati Award 2001 dari Yayasan Kehati (Keanekaragaman Hayati Indonesia), Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI tahun 2003, Penulis Terbaik Sastra Aceh tahun 2003 dari Dinas Kebudayaan NAD, hingga Anugerah Budaya Tajul Alam dari Pemerintah Aceh tahun 2009.

Mengisi masa tuanya−walau harus bertongkat akibat kecelakaan lalulintas di Yogyakarta tahun 1985−T.A Sakti masih sibuk mengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah, Unsyiah. Lelaki ini selalu diantar oleh ojek pribadinya sampai dituntun ke dalam kelas. Bagi saya ini perjuangan heroik T.A Sakti untuk berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa. Beliau dikenal dosen yang sangat disiplin dalam mengajar. Ia juga memiliki sifat rendah hati dan penyayang, sehingga banyak mahasiswa yang merindukan kehadirannya. 'Selama masih muda, teruslah berbuat baik, lahirkan banyak karya positif. Lihatlah saya yang sudah renta ini, sudah mulai terbatas dalam bergerak dan berbuat banyak untuk kebajikan,” itu pesan yang beliau sampaikan sebelum saya pulang. Di luar hujan mulai reda. Matahari mulai bergerak menuju barat. Sebentar lagi Maghrib akan tiba. Perasaan bergemuruh. Saya pulang dengan semangat baru. Semangat Sakti. []

Note:
Tulisan ini pernah dimuat pada majalah Warta Unsyiah. Bagi pengunjung Aksara Pase yang berkeinginan membaca majalahnya bisa di-download di SINI.

Menjadi Pelukis

Menjadi Pelukis
(Karya; Bung Amoy)

Menjadi Pelaut

Menjadi Pelaut
(Karya; Bung Amoy)


Aku ingin Sepertimu
Menjadi pelaut
Berlayar menjadi nahkoda
Bertualang ke seluruh dunia

Aku ingin Sepertimu
Menjadi pelaut
Menikmati ombak di bibir muara
Tenggelam di palung Martini
Terombang-ambing di dasar lautan

Aku ingin Sepertimu
Menjadi pelaut
Tersesat di mana saja dan lupa jalan pulang.

Matangkuli, 2020

Cerita Senja

Cerita Senja
(Karya; Bung Amoy)


Suatu sore kita sedang mengitari kota
Kita berdua berkelana mencari cinta
Di temani motor tua kau dan aku bercerita

Di tengah nestapa yang mulai jingga
Warna senja menyapa muka,
Kulihat senyummu begitu menerka
Sungguh panjang umur perjalanan kita.

Di tengah perjalanan kau berujar, "adakah nanti yang paling berat kau perjuangkan".
"Ya.." aku menjawabnya,
"Yang paling berat untukku ialah saat kuantarkan kau pulang dan tinggalku sendiri menanggung rindu", sontak kau tersenyum menciumku.

Matangkuli, 2020

Saling Berperang

Saling Berperang
(Karya; Bung Amoy)


Aku ingin berperang denganmu
Saling mengangkat senjata
Dan mencari sekutu.
Jika suasana sudah tidak memungkinkan,
Perang akan dimenangkan lawan
Maka kuanjurkan padamu untuk sembunyi.

Dan iya, aku sampai lupa mengingatkanmu.
Tempat berlindung paling aman saat perang ialah kandang lawan.
Jangan lupa itu, carilah tempat terbaikmu;
Dalam dekapan ataupun pelukan
Pilihlah sesukamu yang penting kau aman dalam perang.

Matangkuli, 2020

Tiga Kerbau Putih

Tiga Kerbau Putih
(Karya; M. Yusrizal Latief)


Untuk memperlancar pengiriman barang dari Kemukiman Phang Pho ke Kuta, para kafir Belanda mulai membelah rimba untuk membuka jalur kereta api atau sekadar jalan untuk  dilalui kuda penarik pedati.  Sudah dua tahun terakhir ini, kiprah Ampon Leman melejit sebagai pengutip pajak rakyat, sungguh mulia tugasnya. 

Dikarenakan kerjanya yang cukup mumpuni dia dihadiahi sebuah mobil bergaya Eropa untuk ditungganginya. Ke mana-mana ia menggunakan mobil tersebut. Ketika rakyat menaiki pedati, Ampon Leman membelah jalan berdebu dengan mobil tertutup kaca, sungguh elegan di masanya. Di masa rakyat menjadikan umbi-umbi beracun untuk diolah sebagai makanan pokoknya, goni berkutu dijadikan baju hari-hari. Begitu cerita ayah padaku. Ayah memang orang yang banyak tahu mengenai Leman, dan ketika mak secara halus menyembunyikan cerita Leman padaku maka ayahlah juru kunci yang bisa kudobrak akan kisah itu. Kedengarannya tidak menarik memang, menelusuri sejarah akan Ampon Leman lelaki berkisah misterius di Desa Lam Ranggong.

“Sudah malam, tidurlah. Besok kamu ikut ayah ke acara kenduri hutan, semua warga juga akan ke sana, ada tiga ekor kerbau putih besar yang akan disembelih di sana,” ayah meniup lampu teplok dan menepuk bantal untuk pengganjal tidur malamku. Beduk ditabuh bertalu-talu sejak selesai subuh tadi. Aku sudah diajarkan ayah perihal membaca suara tabuhan beduk. Suara beduk yang ditabuh dengan satu gagang itu pertanda kematian salah satu warga kampung; sedangkan beduk yang dipukul dengan dua gagang dalam tempo waktu yang lama itu pertanda adanya pesta rakyat atau kenduri raja-raja kecil yang wajib dihadiri oleh setiap warga tanpa terkecuali. Dan beduk yang kudengar tadi merupakan beduk kenduri rakyat, berarti benar kata ayah semalam, akan ada kenduri hutan di Desa Lam Ranggong.

“Biarkan si Husen pergi bersamaku, terlalu jauh untuk berjalan kaki anak kecil seumuran dia,” pinta ayah pada mak. Setelah aku dimandikan dan dibedaki mak, aku bergegas menaiki belakang sepeda angin milik ayah. Kayuhan sepeda ayah mendecit-decit ketika menanjaki beberapa bukit. Di jalanan banyak kutemui rombongan warga yang menggotong kayu bakar, menggiring kerbau putih bertanduk, kuali besar digotong beramai-ramai dari rumah kepala desa, ayah juga menyempatkan diri menebas beberapa potong bambu kering lalu diikat di atas sepeda dan aku ada di atas tumpukan bambu sedepa itu. Ketika sepeda menuruni bukit, tubuh ayah yang kekar kupeluk dengan erat sambil memejamkan mata. Singkat cerita, kami sampai.

Ada jembatan yang putus, dan kenduri hutan tepat diadakan di penghujung jalan pada bibir sungai. Aku mencoba untuk menerawang ke bawah. Sungguh dalam. Hanya suara air gemercik yang dapat kudengar. Sungai yang gelap karena ditumbuhi berbagai pohon pada tebingnya. Aku bisa merasakan ke dalaman sungai. Tidak bisa kugambarkan seandainya ada kera yang terjatuh dari pohon ke dasar sungai. Mungkin tulang dan isi perutnya akan berhamburan terhantam batu yang kemudian jadi hidangan gratis bagi ikan dan biawak penghuni sungai.

***

Dipapahnya kepala kerbau yang berbalut kain putih, lalu didekatkan ke pinggiran tebing. Kemenyan dibakar dan baunya menyeruak. Dilemparlah tiga kepala kerbau putih ke dasar sungai yang kemudian disusul dengan taburan bunga melati. Aku dan anak-anak lainnya hanya mengamati apa yang sedang dilakukan oleh petua desa kami, mungkin kami masih terlalu lugu untuk memahami hal demikian rupa.

***

Pada suatu pagi, Ampon Leman, Cupo Intan istrinya, Alamsyah anak pertama mereka, dan Halimah si anak bungsu, hendak menuju Kuta untuk penyerahan hasil pajak bumi pada Gubernur Jenderal Belanda, Van Sweeten namanya. Mereka berempat membelah jalan di kelilingi hutan dengan mobil mewah pemberian kafir Belanda. Sedangkan pedati pengangkut hasil pajak bumi diberangkatkan sehari lebih awal menuju Kuta.

Sesampainya di tengah rimba Ampon mengerem mobil berdecit-decit. Ampon memilih turun dari dalam mobil untuk melihat kondisi jalan di depan. “Bedebah, jembatan putus!” Lelaki itu murka. Ketika hendak berbalik arah untuk kembali ke mobil disergaplah Ampon Leman oleh segerombolan pasukan bersenjatakan parang, pedang, dan rencong.

“Kafir engkau wahai Ampon Leman. Sesempit itukah hatimu menjajah negerimu sendiri, sampai hati engkau bersanding bahu dengan kafir-kafir yang tidak pernah mendengar azan dan ikamah pertama mereka di negeri Achin ini. Otakmu telah disumpal jerami busuk.” Ampon hanya tertunduk tanpa memberikan perlawanan yang berarti. Tebasan itu memisahkan kepala Ampon Leman dari badannya. Cupo Intan dan Halimah direnggut kesuciannya bergilir oleh para pasukan sebelum dipenggal layaknya Ampon Leman. Kepala dan jasad mereka dilemparkan ke bawah jembatan yang di bawahnya diairi sungai dalam.

Semenjak peristiwa itu, Ampon Leman dan keluarga tidak kembali lagi. Mereka menginap di bawah Jembatan Seunapet, begitu orang-orang menamakan jembatan yang sering melihat Halimah bergentayangan. Setiap tahunnya mereka meminta tiga kepala kerbau putih. Kalau tidak maka jembatan itu akan roboh dengan sendirinya. Orang-orang meyakini itu ulah arwah keluarga Ampon Leman.

“Engkau paham sekarang dengan kenduri hutan yang kamu hadiri bersama ayah tadi pagi?” Aku mengangguk. Tapi masih ada satu pertanyaan lagi yang hendak kuutarakan.

"Bagaimana dengan Alamsyah, apa ia ikut dibunuh?” 
“Tidak, ayah sempat melarikan diri ke dalam semak-semak.”
“Jadi Ampon Leman itu, almarhum kakek?”

Pertanyaan itu membuat ayah terdiam. Dengan anggukan kecil ayah meniupkan lampu teplok. Pertanda sabda ayah aku harus tidur lelap melupakan cerita sang Ampon Leman. []

Note:
Cerpen ini pernah dimuat pada majalah Warta Unsyiah edisi Mei 2019. Jika berminat membaca majalahnya silakan download pada tautan berikut ini: Di sini

Tahun Ketiga




Tahun Ketiga

Dalam perang ini, aku sudah berjanji untuk tidak melibatkanmu lagi. Begitu seru hati kecilku.

Engkau pernah menanyakan kabarku tempo hari, kujawab saja aku sudah berangsur-angsur pulih. Pandanganku kosong menatap deburan ombak. Engkau malah mencoba menatap wajahku, seakan ragu jika aku baik-baik saja. Sambil memamerkan senyum setengah inci, berulangkali aku meyakinkan mu, bahwa aku tidak sedang berduka. Langkahku terus mengimbangi langkahmu di atas pasir pantai separuh basah. Engkau membuka kacamata, menyuruhku menatap matamu yang kemerahan dimasuki pasir yang diterbangkan angin sesuka hati. Aku menuruti, tidak lama, pandanganku harus segera kutepis, melihat matamu sama dengan mengabarkanmu jika aku sedang berduka.

Mata hari separuh ditelan laut. Angin juga sudah mulai berhenti mengibas-ngibas jilbabmu. Dari kejauhan azan sayup-sayup berkumandang. Kuajak engkau pulang, sebab jika lama pun bersamamu, aku sudah tidak bisa berbicara. Mulutku seakan kaku, bebal menafsirkan kalimat-kalimat yang dikandung hati untuk kemudian kutumpah di hadapmu. Kutegaskan lagi; aku sudah tidak bisa berbicara. Yakinku, Tuhan akan selalu mendengar setiap apa yang disirat hati, apa-apa yang tidak bisa disurah lidah. Aku pulang buru-buru, kita berpisah di persimpangan jalan. Dan engkau akan kuadukan pada Tuhanku.

Banda Aceh, 25.03.2020
M. Yusrizal Latief

Hal Baik Jangan Ditunda




Hal Baik Jangan Ditunda

Tepat seminggu yang lalu nurani saya terpukul. Pada pukul 02.00 saya mendapati kabar, seorang pasien kritis di Rumah Sakit Zainal Abidin membutuh segera darah B+, dan golongan darah saya adalah golongan darah yang dimaksud.

Berhubung belum tidur, segera saya hubungi kontak keluarga pasien, mengabarkan kesedian saya untuk langsung mendonorkan darah pada jam tersebut (dua pagi). Atas pertimbangan satu dan lain hal keluarga pasien menganjurkan saya untuk mendonorkan darah pada pagi menjelang siang saja, dan saya mengiyakan.

Dengan kondisi saya begadang tentunya Hemoglobin saya tidak akan normal pagi tersebut, prosedur donor tidak terpenuhi, mau tidak mau saya harus menunda donor pada siang menjelang sore. Pukul 10.35 pagi saya mendapati kabar, calon Recipient (orang yang menerima donor) saya duluan dipanggil pulang Ilahi Rabbi.

Betapa terpuruknya saya ketika itu. Nurani saya berkata saya adalah orang yang paling bersalah lantaran menunda-nunda pemberian untuk yang membutuhkan. Toh Allah memberikan darah secara cuma-cuma untuk saya, namun kenapa saya tidak demikian untuk sesama manusia.

Maka dari itu, menghindari penyesalan yang kedua kali, saya mencoba memberi (donor darah) sebelum diminta. Kita semua sadar, di luar sana ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang yang membutuhkan darah kita untuk menyambung nyawa. Lantas apakah kita masih diam saja? Ayok, donor darah...
Copyright © | by: Me